Menu

Mode Gelap
Kepala BPP Mandalawangi: Semangat Bersama untuk Pertanian Lebih Maju dan Berkelanjutan Tanam Padi di Mandalawangi, Bupati Dewi: Kontribusi Pangan Pandeglang 34 Persen Pemkab Pandeglang Sosialisasikan Perbup Pakaian Dinas dan Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Temui Wabup, GP Ansor Pandeglang Dukung Kebijakan Strategis Pemkab Pandeglang Desak Copot Oknum Anggota DPRD Pandeglang Fraksi PKS, Ini Empat Tuntutan ABR Tampung Keluhan Warga, Ketua DPRD Pandeglang Datangi Konstituen

Opini Publik

Ketika Kartini Didandani Kacamata dan Kerudung

badge-check


					Ketika Kartini Didandani Kacamata dan Kerudung Perbesar

Setiap memasuki bulan April, setidaknya kita dihadapkan pada dua momentum yang rutin kita lalui. Pertama adalah istilah April Mop yang terjadi di awal bulan, dan kedua adalah peringatan Hari Kartini pada pekan ketiga di bulan April. April Mop merujuk pada diperbolehkannya kita untuk berbohong atau memberi lelucon kepada orang lain tanpa dianggap bersalah.

Sementara Hari Kartini rutin diperingati setiap tanggal 21 April. Tanggal ini merujuk kepada hari kelahiran seorang perempuan Pahlawan Nasional, Raden Ajeng Kartini. Beliau merupakan sosok perempuan yang dianggap berjasa dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Berkatnya, harkat, derajat, dan martabat perempuan Indonesia terangkat.

Sudah banyak tulisan yang mengupas perihal Kartini, baik sejarah hidupnya, latar belakang keluarganya, jalan hidupnya, rumah-tangganya, dan yang paling banyak dikupas dan dianggap penting adalah perjuangannya membela kaum perempuan. Mungkin yang luput dari perhatian publik adalah cara pandang keagamaannya yang ternyata juga sangat menarik.

Saat dia menerima kado pernikahan dari Kiyai Saleh Darat berupa Al-Quran sebanyak 13 juz yang disertai dengan terjemahan dengan huruf arab pegon, adalah cukup baginya untuk mempelajari ajaran Islam di tengah masyarakat Jepara kala itu yang masih kuat dengan tradisi abangan. Bahkan pengakuannya bahwa walau kerap membaca Surat Al-Fatihah setiap kali shalat namun tidak dia mengerti atas makna dan kandungannya, merupakan bukti bahwa dia cukup religious dan serius dalam mempelajari agama.

Masih banyak sisi lain Kartini yang belum terungkap. Maka tak aneh bila cara pandang kita terhadapnya amat beragam. Ada yang berpendirian bahwa dia hanyalah perempuan biasa yang hanya bisa melakukan rutinitas biasa. Hanya karena rajin berkirim surat dengan rekannya di Belanda dan kemudian korespondensi itu dibukukan, lalu kemudian dianggap berjasa. Bagi mereka yang berada pada kelompok ini, menjadikan Kartini sebagai Pahlawan Nasional itu dianggap berlebihan.

Sementara bagi sebagian orang lagi, Kartini merupakan perempuan yang pada zamannya sudah memiliki cara pandang masa depan. Sehingga jasanya dalam hal memperjuangkan perempuan, melampaui perempuan hebat lainnya, seperti Dewi Sartika, Rasuna Said, Maria Walanda Maramis, dan Fatmawati. Bagi kelompok ini, peringatan Hari Kartini yang dirayakan secara meriah merupakan kewajaran dan wujud penghormatan atasnya.

Pada diskusi dan tulisan yang muncul belakangan ini, ada gejala upaya menggiring opini untuk meredam besarnya jasa Kartini dengan cara mengangkat sosok pahlawan perempuan lain yang dianggap lebih berjasa dengan menggambarkan pribadinya yang sholihah dan dekat serta lekat dengan kehidupan yang sarat dengan nilai agama. Diskusi dan tulisan itu seolah ingin mengatakan bahwa sesungguhnya bukan Kartini yang seharusnya diagungkan sebagai perempuan pahlawan nasional.

Opini itu tidak ada salahnya selama didukung oleh fakta sejarah. Tapi, mendegradasi jasa Kartini dengan cara membalikkan fakta sejarah itu tidak elok. Maka cara terbaik adalah dengan menggali dan mengekspose kiprah dan perjuangan perempuan lain sehingga kadar heroiknya tidak kalah hebatnya dibanding Kartini. Sebaliknya, para pengagum Kartini pun tidak perlu melakukan pembelaan atasnya secara berlebihan seperti fenomena yang akhir-akhir ini terjadi.

Beberapa waktu lalu, di media sosial beredar gambar yang dianggap sebagai foto Kartini. Foto dimaksud berupa gambar sosok wajah Kartini dengan memakai jilbab dan kacamata. Pada bagian keterangan disebutkan bahwa “Ini photo asli RA. Kartini ketika menjadi santri Kiyai Saleh Darat. Tidak memakai konde dan kebaya. Foto RA. Kartini yang berkonde dan berkebaya versi Belanda akan terus dikeluarkan oleh kaum sekuler agar RA. Kartini tetap dikenang sebagai perempuan yang tak mau berjilbab”.

Dugaan saya, mungkin dengan menampilkan sosok Kartini dengan berjilbab dan berkacamata agar terkesan pribadinya lekat dengan kehidupan keagamaan. Apalagi ditambahkan dengan catatan bahwa photo dengan konde dan kebaya merupakan rekayasa Belanda. Namun bila kita cermati lebih teliti, setidaknya ada dua hal yang bisa menjadi ganjalan bagi validnya photo tersebut.

Pertama, dari bentuk dan model kerudung. Pada periode Abad Ke-18, masa Kartini hidup, penampilan muslimah Nusantara masih amat sederhana. Waktu itu, busana perempuan muslimah adalah perpaduan antara kain sarung, kebaya, dan kerudung yang cukup ditempelkan di atas kepala tanpa harus menutup rambut, bahkan tanpa harus menutup dada. Persis seperti photo-photo para nyai istri para kiyai yang kerap kita jumpai.

Kedua, bentuk dan model kacamata. Pada zaman Kartini hidup, amat jarang laki-laki menggunakan kacamata. Apalagi perempuan. Disamping itu, bila dilihat lebih tajam, model kacamata yang dipakai oleh Kartini pada photo tersebut, merupakan model yang melampaui zamannya. Bentuk kacamata seperti itu diproduksi di era milenial.

Maka, dengan dua bukti tadi saya meyakini photo dimaksud bukanlah photo Kartini. Itu adalah photo rekayasa yang proses editnya tidak sempurna. Pada photo itu, Kartini sekilas terlihat seperti artis Inneke Koesherawati.

Saya malah curiga, photo ini merupakan buatan pihak lain. Dibuat sedemikian rupa lalu dipublikasikan dengan maksud agar umat Islam terlena dalam kekonyolan. Konyol karena merasa bangga dengan Kartini yang sarat dengan simbol agama padahal hasil rekayasa mereka. Kekonyolan ini semakin berkembang-biak ketika di antara kita turut latah membagikannya tanpa cek dan ricek. Kita bangga sementara mereka menertawakan kita.

Disinilah poin pentingnya bahwa semangat keberagamaan akan nampak konyol bila kita hanya mendasarkannya kepada sikap emosional dengan mengabaikan rasionalitas. Gejala ini sejatinya juga terjadi dalam persitiwa lain. Misalnya ketika umat Islam merespon kejadian gempa beberapa waktu lalu yang dikaitkan dengan keputusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menolak LGBT sebagai tindakan pidana. Padahal, baik kausalitas maupun substansinya tidak relevan dan tidak berhubungan.

Masih banyak contoh lain yang menunjukkan perilaku konyol kita. Konyol karena latah. Latah karena tak mau tabayun dan konfirmasi atas kesahihan sebuah berita. Semangat untuk “sharing” namun tanpa saring. Seolah merasa berjasa bahkan merasa menuai pahala sesaat usai membagi dan menebar berita. Berita yang belum tentu benar.

“Mendandani” Kartini dengan kacamata dan kerudung dengan maksud bahwa dia begitu “islami” adalah langkah konyol sebagai ekspresi keberagamaan seseorang. Tak berbeda dengan tindakan tak berdasar ketika Adi Hidayat sang penceramah terkenal, yang mengklaim bahwa Matulessy adalah Ahmad Lusi, dengan maksud agar dia teridentifikasi sebagai seorang muslim.

Agar kita tidak menjadi generasi yang konyol, mari membiasakan diri untuk selalu santun dalam bertutur, ilmiah dalam berpikir, dan bijak dalam bertindak. Selektif dalam berbagi. Saring sebelum sharing. Kupas sebelum copas. Merasa malu bila berbagi informasi yang terbukti hoax. Serta tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Keledai saja, hewan yang dianggap sebagai binatang paling dungu di dunia, tidak pernah terperosok pada lubang yang sama. Artinya, dia bisa belajar dari pengalaman untuk tidak melakukan kesalahan berulang. Kita, yang adalah makhluk Tuhan paling mulia karena memiliki akal, yang bisa membedakan antara benar dan salah, baik dan buruk, masa lebih dungu dibanding keledai, dengan berbagi hoax yang berulang? Wallahualam.***

Tangerang, Senin, 21 April 2025

Ocit Abdurrosyid Siddiq
Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (FORDISKA LIBAS)

Baca Lainnya

Menafsirkan Warisan Kartini

22 April 2025 - 10:41 WIB

Tajamnya Luka Saat Dokter Menjadi Predator, Publik Tuntut Keadilan Tanpa Ampun

18 April 2025 - 12:44 WIB

Ulah Nakal di Tengah Antrian Bayar Pajak

13 April 2025 - 11:23 WIB

Fenomena Dedi Mulyadi

10 April 2025 - 11:11 WIB

Pengesahan UU DOB Cilangkahan di Tengah Pemberlakuan Moratorium Pemekaran Wilayah

7 April 2025 - 15:55 WIB

Trending di Opini Publik