“Warisan Kartini adalah keberanian menantang belenggu patriarki
dengan pena dan pikiran, menjadikan perempuan sebagai pilar peradaban”
Warisan sejati bukanlah monumen atau nama yang terpahat di batu, melainkan gagasan yang hidup, menantang, dan relevan melintasi zaman.
Raden Ajeng Kartini, yang diperingati setiap 21 April, adalah bukti nyata. Ia bukan sekadar bangsawan Jawa yang terkurung tradisi, tetapi pemikir kritis yang menggunakan pena untuk menyerang feodalisme, dogmatisme agama, dan patriarki.
Namun, ironisnya, warisan Kartini sering disederhanakan menjadi citra estetis: kebaya, sanggul, dan wajah anggun. Padahal, di balik itu, ada ide-ide radikal yang menggugat sistem dan merintis jalan menuju masyarakat yang lebih adil.
Tentu kita perlu menelusuri warisan Kartini dengan pendekatan akademis, menggali substansi pemikirannya, dan mengkritik depolitisasi yang mereduksi perjuangannya, sembari menawarkan perspektif progresif untuk konteks modern.
Pada 1900, di Jepara, Kartini mengejutkan Direktur Pendidikan Hindia Belanda, JH Abendanon, dan istrinya dengan usulan radikal: pendidikan kejuruan untuk perempuan Jawa. “Pendidikan saja tidak cukup, harus ada kejuruan,” katanya, seperti dikutip Sitisoemandari Soeroto dalam Kartini: Sebuah Biografi (1977).
Dalam masyarakat feodal yang memandang perkawinan sebagai satu-satunya jalan bagi perempuan, visi Kartini adalah pemberontakan intelektual. Ia melihat pendidikan sebagai kunci memerdekakan perempuan dari belenggu tradisi dan patriarki.
Kartini bukan tokoh yang berhenti pada mimpi. Surat-suratnya, yang menggetarkan kalangan intelektual Belanda, mencerminkan pemikiran progresif tentang pendidikan, kesetaraan, dan keadilan sosial.
Ia menuntut pendidikan yang tidak hanya mengajarkan membaca, tetapi juga memahami makna, sebagaimana ia tulis pada 1899: “Mengajari orang membaca tanpa makna adalah pekerjaan gila.”
Visi ini, menurut Elisabeth Riedel dalam Kartini: The Complete Writings (2014), menjadikan Kartini pelopor feminisme kontekstual yang berakar pada realitas lokal, bukan sekadar meniru model Barat.
Kartini juga pernah menulis kepada Nyonya Ovink-Soer (1900): “Pendidikan budi pekerti perempuan adalah kunci, karena di pangkuan ibu anak pertama kali belajar berpikir dan merasa.” Pendidikan, baginya, adalah fondasi peradaban.
Pada 21 Juli 1902, ia menulis kepada Ny. Van Kol, mengagumi pejuang perempuan India yang membuktikan bahwa perempuan berkulit sawo matang pun bisa meraih kemerdekaan hidup. Visi ini, seperti diuraikan Pramoedya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja (1962), menjadikan Kartini pelopor emansipasi yang merangkul ranah publik dan privat, menjadikan perempuan agen perubahan, bukan sekadar bayang-bayang lelaki.
Namun, mimpinya terhenti. Abendanon membujuk Kartini untuk belajar di Batavia, bukan Belanda, menghancurkan harapannya melanjutkan pendidikan di Eropa. Ayahnya juga membatasi langkahnya, hingga Kartini memilih menikah dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Djojo Adiningrat. Pernikahan itu, meskipun penuh kasih, tidak memadamkan pergolakan batinnya. Kartini meninggal pada 1904, usia 25, hanya 10 bulan setelah menikah, meninggalkan warisan pemikiran yang diterbitkan Abendanon dalam Door Duisternis Tot Licht (1911). Buku ini menginspirasi “Dana Kartini” di Belanda, yang menggalang dana untuk sekolah-sekolah di Indonesia.
Depolitisasi Warisan Kartini
Setiap Hari Kartini, peringatan sering kali terjebak dalam seremoni kosong. Kartini direduksi menjadi simbol perempuan Jawa yang feminin, bukan penggugat sistem penindas.
Ini bukan sekadar kesalahan interpretasi, tetapi depolitisasi yang sengaja atau tidak, menghilangkan dimensi politik dari perjuangannya. Kebaya dan sanggul menjadi fokus, bukan pemikiran radikal yang lahir dari surat-suratnya.
Proses ini, seperti yang dianalisis oleh sejarawan Pramoedya Ananta Toer dalam Habis Gelap Terbitlah Terang (2003), mencerminkan kecenderungan untuk menjinakkan tokoh-tokoh revolusioner agar tidak mengganggu status quo. Kartini, yang seharusnya menjadi inspirasi perubahan sosial, justru dikurung dalam narasi aman yang tidak mengancam kekuasaan.
Kartini hidup pada akhir abad ke-19, di tengah feodalisme Jawa yang kaku dan dogmatisme agama yang menekan. Perempuan, khususnya bangsawan, diharapkan patuh dan menjadi objek dalam struktur sosial. Namun, Kartini menolak peran itu.
Ia memilih menggugat dan mencari makna, sebagaimana terlihat dalam suratnya pada 6 November 1899:
“Di sini orang diajari membaca Alqur’an, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap itu pekerjaan gila; mengajari orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya.”
Kalimat ini adalah deklarasi intelektual. Kartini mengkritik pendidikan yang mekanis dan praktik keagamaan yang kosong dari pemahaman. Ia menuntut esensi dan keberanian untuk mempertanyakan tradisi—prinsip yang tetap relevan di era modern, ketika informasi sering dikonsumsi tanpa refleksi kritis.
Memerdekakan Pikiran
Keabadian Kartini terletak pada keberaniannya berpikir dan menulis. Dalam keterbatasan sebagai perempuan bangsawan yang dipingit, ia menemukan kebebasan melalui pena.
Surat-suratnya kepada sahabat pena di Belanda, seperti Stella Zeehandelaar dan Abendanon, menjadi ruang untuk mengartikulasikan visinya tentang pendidikan, kesetaraan, dan keadilan sosial. Menurut Elisabeth Riedel dalam Kartini: The Complete Writings (2014), surat-surat ini bukan sekadar curahan hati, tetapi traktat politik yang menawarkan kritik terhadap kolonialisme, feodalisme, dan patriarki.
Kartini memahami bahwa perubahan tidak lahir dari kekerasan, tetapi dari ide-ide yang mengguncang. Ia menulis tentang pentingnya pendidikan yang memerdekakan, khususnya bagi perempuan, yang ia anggap sebagai kunci kemajuan bangsa. Dalam suratnya pada 21 Juli 1902, ia menyatakan:
“Saya bertekad memperbaiki citra Islam yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah.”
Pernyataan ini mencerminkan dua hal: pembelaan terhadap agamanya dan kritik terhadap penyalahgunaan agama untuk membenarkan ketidakadilan. Kartini melihat Islam sebagai sumber keadilan, bukan alat untuk mempertahankan hierarki sosial. Dalam konteks saat ini, ketika narasi agama sering dipolitisasi, semangat Kartini mengajak kita untuk mempertanyakan dogma dan mencari esensi nilai-nilai kemanusiaan.
Perempuan sebagai Pilar Peradaban
Kartini bukan hanya simbol emansipasi perempuan; ia adalah pengingat bahwa perempuan adalah pilar peradaban. Ia percaya kemajuan bangsa bergantung pada kebebasan intelektual dan sosial perempuan.
Dalam surat-suratnya, ia menggambarkan dunia di mana perempuan tidak lagi terpingit, baik secara fisik maupun mental, dan menjadi pelaku sejarah. Visi ini, seperti yang dianalisis oleh Saskia Wieringa dalam Sexual Politics in Indonesia (2002), menempatkan Kartini sebagai pelopor feminisme kontekstual yang tidak sekadar meniru model Barat, tetapi berakar pada realitas lokal.
Namun, visi Kartini melampaui kesetaraan gender. Ia memahami bahwa perjuangan perempuan terkait dengan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan, termasuk feodalisme, kolonialisme, dan dogmatisme.
Dalam pandangannya, kebebasan perempuan mencerminkan kebebasan bangsa. Relevansi visi ini terlihat dalam tantangan kontemporer, seperti ketimpangan gender di dunia kerja atau narasi konservatif yang membatasi peran perempuan. Kartini mengajak kita untuk terus memperjuangkan ruang bagi perempuan sebagai agen perubahan.
Menafsirkan Warisan Kartini
Warisan Kartini tidak luput dari tantangan interpretasi. Ada yang memujanya sebagai pahlawan emansipasi, tetapi ada pula yang menganggapnya terlalu idealis untuk konteks zamannya.
Sebagian kalangan, seperti yang dicatat oleh sejarawan Tineke Hellwig dalam In the Shadow of Change (1994), berpendapat bahwa gagasan Kartini terlalu dipengaruhi oleh pendidikan Belanda, sehingga kurang relevan bagi realitas rakyat jelata. Namun, pandangan ini mengabaikan fakta bahwa Kartini, meskipun bangsawan, berbicara untuk semua perempuan yang terpinggirkan oleh sistem.
Depolitisasi warisannya mencerminkan kecenderungan untuk menjinakkan tokoh-tokoh revolusioner. Kartini adalah cermin dari berbagai wajah perjuangan: dari konflik dengan sistem hingga harapan akan harmoni sosial. Warisan sejati Kartini adalah kemampuan untuk menyatukan, bukan memecah, dengan menawarkan visi masyarakat yang lebih adil dan inklusif.
Hari Kartini bukan sekadar perayaan, tetapi panggilan untuk bertindak. Menghormati Kartini bukan dengan seremoni kebaya atau puji-pujian kosong, melainkan dengan menghidupkan gagasannya: pendidikan yang memerdekakan, keberanian menggugat ketidakadilan, dan tekad menjadikan perempuan kekuatan peradaban. Dalam dunia yang masih bergulat dengan ketimpangan gender, misinformasi, dan dogmatisme, Kartini menawarkan pelajaran berharga: perubahan dimulai dari keberanian untuk bertanya dan berpikir kritis.
Data dari Badan Pusat Statistik (2023) menunjukkan bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia masih tertinggal dibandingkan laki-laki, dengan hanya 53,1% perempuan aktif di pasar kerja dibandingkan 82,2% laki-laki. Angka ini mencerminkan tantangan struktural yang masih menghambat visi Kartini tentang kesetaraan. Di sisi lain, maraknya hoaks dan narasi keagamaan yang memecah belah menunjukkan urgensi prinsip Kartini: mencari makna di balik apa yang kita baca dan yakini.
Kartini mengajak kita untuk tidak terjebak dalam ritual tanpa substansi. Ia menuntut pendidikan yang tidak hanya mengajarkan keterampilan, tetapi juga membangun kesadaran kritis. Dalam konteks modern, ini berarti mendorong literasi digital yang tidak hanya teknis, tetapi juga kritis terhadap informasi yang beredar. Ia juga mengingatkan kita untuk memandang agama sebagai sumber inspirasi keadilan, bukan alat untuk mempertahankan kekuasaan.
Warisan Kartini
Warisan Kartini adalah undangan untuk terus berpikir, menggugat, dan bertindak. Ia bukan sekadar tokoh masa lalu, tetapi kompas untuk masa kini dan masa depan. Dalam setiap suratnya, ia menegaskan bahwa kemajuan bangsa bergantung pada kebebasan pikiran dan keberanian untuk menantang ketidakadilan. Menghidupkan warisan Kartini berarti memastikan bahwa pendidikan, kesetaraan, dan keadilan sosial bukan sekadar slogan, tetapi kenyataan yang kita wujudkan.
Di tengah dunia yang masih penuh tantangan, Kartini mengajak kita untuk bertanya: apa makna di balik apa yang kita pelajari, yakini, dan lakukan? Jawabannya terletak pada tindakan nyata—mendorong pendidikan yang memerdekakan, memperjuangkan kesetaraan, dan menjadikan perempuan sebagai pilar peradaban.
Selamat Hari Kartini.***
Oleh: Bung Eko Supriatno
Penulis adalah Dosen Universitas Mathla’ul Anwar Banten, Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Mathla’ul Anwar (BRIMA), Pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Organisasi Wilayah (Orwil) Banten