Menu

Mode Gelap
Dorong Sinergi Tumbuh Bersama, Gubernur Banten Sodorkan Lima Sektor Kerjasama Pemuda Katalisator Pembangunan Desa Upaya Tingkatkan IDM Banten Karang Taruna Cibodas Kota Tangerang Gelar Turnamen Futsal Bahlilisasi UI Diduga Tak Transparan, Proyek Septictank di Desa Sumurlaban Jadi Sorotan Publik Hadapi Tantangan Society 5.0, SDIT Irsyadul Ibad Gelar Seminar Motivasi

Opini Publik

Menggugat Takdir

badge-check


					Menggugat Takdir Perbesar

Islam adalah agama. Ciri utama seseorang beragama, memiliki iman. Seorang muslim pastinya punya iman. Iman itu yakin atau percaya. Percaya pada adanya atau keberadaannya, walau tidak kasat mata. Sekaligus patuh pada aturannya, baik perintahnya maupun larangannya.

Dalam Islam, iman itu menjadi pokok utama ajaran agama. Setidaknya, ada 6 pokok keimanan dalam Islam. Selain iman kepada Allah, juga kepada malaikat, kitab suci, nabi, hari akhir, dan ketentuan atau ketetapan Allah atas manusia dan semesta, yang dikenal dengan takdir.

Takdir merupakan ketetapan Allah yang telah ditentukan sejak zaman azali kepada setiap makhluk ciptaanNya, termasuk manusia. Takdir manusia diyakini telah tercatat di lauhul mahfudz. Lauhul mahfudz adalah kitab yang terjaga yang menyimpan catatan takdir dan semua kejadian di alam semesta.

Takdir merupakan ketetapan atau keputusan Allah yang telah terjadi atau sedang terjadi dalam kehidupan manusia. Takdir ini mencakup segala sesuatu yang terjadi, baik yang baik maupun yang buruk. Baik yang dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki manusia.

Percaya pada takdir dan bahwa segala sesuatu sudah diatur oleh Allah itu, memiliki dampak positif, seperti ketenangan pikiran, rasa syukur, kesabaran, kecemasan yang berkurang, serta kemauan untuk menerima takdir itu sendiri.

Yakin dan percaya kepada takdir yang merupakan gabungan qada dan qadar ini, merupakan bagian inti dari keimanan seorang muslim. Yakin dan percaya bahwa semuanya telah “direncanakan” dan apa yang terjadi merupakan bagian dari “perencanaan” tersebut.

Bagi seorang muslim yang beriman, peristiwa yang sedang apalagi yang sudah terjadi atau sudah lewat, merupakan sebuah takdir atau ketetapan yang selaras dengan “skenario” yang Allah rumuskan. Apa yang sudah terjadi merupakan kehendak Allah.

Indonesia dijajah oleh bangsa kolonial hingga ratusan tahun, Indonesia meraih kemerdekaan, Orde Baru berkuasa hingga 32 tahun, Orde Baru jatuh oleh gerakan reformasi, Gusdur jadi Presiden, lalu pemimpin perempuan yang menggantikannya, bagi seorang muslim yang beriman itu merupakan contoh rangkaian dan bagian dari takdir Allah.

Peristiwa yang telah lewat, apakah dikehendaki oleh manusia atau kah tidak, apakah setuju atau kah tidak, itu telah menjadi ketetapan Allah yang tidak bisa diubah kembali. Jangankan perkara pergantian rezim, sehelai daun kering yang jatuh dari pohonnya saja, adalah bagian dari takdir.

“Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya pula, yang telah tertulis dalam kitab yang nyata (lauhul mahfudz)”, demikian kata Allah. Jadi, peristiwa besar semacam perang dunia, hingga sebutir biji buah yang jatuh dalam kegelapan, bagi seorang muslim yang beriman merupakan ketetapan Allah.

Perkara yang kecil dan remeh saja, diyakini sebagai bagian dari takdir yang telah Allah tetapkan. Apalagi seseorang yang telah -sekali lagi, telah- berkuasa 2 periode selama 10 tahun dan memimpin penduduknya yang lebih dari 280 juta orang. Itu merupakan takdir yang nyata.

Bagi seorang muslim yang beriman, fakta bahwa Jokowi telah menjadi Presiden RI selama 2 periode, merupakan bagian dari skenario Allah yang telah tertulis di lauhul mahfudz. Jauh sebelum dia dilantik, jauh sebelum Indonesia merdeka, jauh sebelum kedatangan bangsa kolonial, jauh sebelum Adam turun ke bumi, jauh sebelum alam semesta diciptakan.

Daun kering yang sudah jatuh dari pohon, tidak bisa dikembalikan lagi ke tangkainya. Begitulah hukum alamnya. Itulah takdirnya. Jokowi dengan segala keterbatasannya, telah menjadi pemimpin negeri ini selama 10 tahun. Itulah takdirnya. Juga takdir kita sebagai bangsa Indonesia. Takdir kita dipimpin oleh orang “demikian”.

Walaupun “demikian”, bagi orang Islam yang beriman, terlepas dari kekurangan, kelemahan, serta keterbatasan lainnya, Jokowi menjadi Presiden RI merupakan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah, yang suka atau tidak, mesti diterima dengan tulus, ikhlas, ridha, dan lapang dada, seperti halnya ketika kita dihadapkan pada takdir Allah model lainnya.

Daripada energi kita habis dipakai untuk menggugat takdir yang telah terjadi, lebih baik menyambut takdir kita yang akan tiba, yang walau pun sudah tertulis di lauhul mahfudz -karena belum terjadi- terbuka celah untuk mengubahnya lewat ikhtiar dan doa. Wallahualam.***

Tangerang, 25 Mei 2025

Oleh: Ocit Abdurrosyid Siddiq
Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (FORDISKA LIBAS)

Baca Lainnya

Bahlilisasi UI

16 Juni 2025 - 23:24 WIB

Universitas Bukan Sekadar Pabrik Ijazah

28 Mei 2025 - 13:09 WIB

RPJMD 2025-2029: Banten Adil atau Sekadar Janji?

28 Mei 2025 - 12:58 WIB

Negeri Disanksi Pemerintah, Swasta Dicopot Yayasan

17 Mei 2025 - 18:56 WIB

Audit Narasi Hasan Nasbi

8 Mei 2025 - 10:14 WIB

Trending di Opini Publik