Oleh: Ocit Abdurrosyid Siddiq
Pengamat Media dan Kebijakan Publik
Belakangan ini, dunia pendidikan sedang menjadi sorotan. Khususnya oleh pemerintah. Dalam hal ini pemerintah provinsi. Seperti terobosan yang dilakukan Dedi Mulyadi di Jawa Barat, dan Andra Soni di Banten. Bahkan Wagub Banten Dimyati Natakusumah, nampak lebih intens menyoalnya, terutama perkara wisuda murid, studi tour ke luar daerah, serta pembiayaan yang melibatkan masyarakat.
Dalam sebuah kesempatan pada suatu acara yang dihadiri oleh Gubernur Banten Andra Soni, Penulis menyampaikan perihal ini. Konfirmasi ini penting sebagai cara untuk mengetahui dan memahami maksud serta tujuan pemerintah dalam menyampaikan statement yang menjadi bahan konsumsi publik, agar tidak menuai kesalahpahaman.
Penulis menyarankan kepada pemerintah, dalam hal ini pemerintah Provinsi Banten, khususnya Gubernur Banten Andra Soni dan Wakil Gubernur Banten Dimyati Natakusumah, agar dalam setiap menyampaikan statement kepada publik, khususnya mengenai pendidikan, dilakukan secara utuh dan komprehensif.
Pernyataan yang sepotong, parsial, dan tidak holistik, terkesan populis dan hanya membuat senang pendengarnya. Padahal, secara teknis ada sesuatu yang belum tuntas. Sehingga dengan statement tidak utuh tersebut, bisa menuai mispersepsi atau kesalahpahaman di kalangan masyarakat.
Seperti halnya kebijakan berupa imbauan, instruksi, perintah, serta larangan terhadap apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh sekolah terhadap murid. Penulis menyampaikan agar sebaiknya pesan itu disampaikan secara utuh sehingga masyarakat bisa menangkap maksud dan tujuan secara baik dan benar.
Misalnya tentang larangan sekolah mengadakan studi tour ke luar daerah, larangan sekolah menggelar acara wisuda di luar sekolah, dan larangan sekolah memungut iuran kepada wali murid. Karena disampaikan secara doorstop, tidak utuh dan terkesan populis, lalu dimaknai oleh masyarakat sebagai ketentuan yang berlaku bagi seluruh sekolah.
Apalagi dalam penyampaian statement tersebut, menyertainya dengan sanksi yang akan diberikan kepada kepala sekolah yang dianggap tidak patuh atas kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur dan atau Wakil Gubernur, dengan hukuman berupa pencopotan dari jabatannya. Statement semacam ini banyak beredar di media sosial.
Perlu diketahui bahwa sekolah itu ada yang negeri dan ada yang swasta. Nah, yang dimaksud oleh Gubernur dan atau Wakil Gubernur dalam setiap pernyataannya itu dikhususkan bagi sekolah negeri. Sekolah negeri itu milik pemerintah. Maka, seluruh regulasi pemerintah wajib dijalankan oleh sekolah negeri.
Kepala sekolah negeri itu diangkat, ditunjuk, dan ditetapkan oleh pemerintah. Maka pemerintah juga berhak untuk melakukan mutasi, rotasi, dan promosi. Pemerintah juga punya kewenangan untuk memberhentikan atau mencopot kepala sekolah negeri yang dianggap tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah.
Sementara kepala sekolah swasta itu diangkat oleh yayasan. Maka yang berhak mencopotnya juga adalah yayasan. Kepala sekolah yang diangkat oleh yayasan, tidak bisa dicopot oleh pemerintah. Pun sebaliknya, kepala sekolah negeri yang diangkat oleh pemerintah, tidak bisa dicopot oleh yayasan.
Nah, akibat dari penyampaian statement yang tidak utuh seperti ini, maka publik memaknainya bahwa seluruh statement Gubernur dan atau Wakil Gubernur itu berlaku bagi seluruhnya, baik bagi sekolah negeri maupun sekolah swasta. Padahal tidak demikian. Ironisnya, pemahaman sesat seperti ini juga terjadi pada sebagian kelompok yang menamakan dirinya kontrol sosial.
Bagi sekolah negeri, pesan bernada statement itu berlaku sepenuhnya. Sementara untuk sekolah swasta, sifatnya berupa imbauan. Misalnya, dilarang menggelar wisuda bagi murid. Karena hajat ini dianggap tidak urgent, konotasinya seolah hura-hura, dan pastinya berbiaya tidak sedikit. Ini yang tidak boleh!
Bagi sekolah negeri yang sumber dan pengelolaan keuangannya sudah jelas bersumber dari negara, dan pastinya perkara wisuda tidak termasuk di dalam kegiatan yang diperbolehkan dibiayai dengan uang negara, maka instruksi itu juga sangat jelas untuk dijalankan.Di sisi lain, sekolah negeri tidak diperbolehkan melibatkan pembiayaan dari wali murid.
Sementara bagi sekolah swasta yang didirikan, dikelola, dan dibiayai oleh masyarakat, selama kegiatan tersebut atas kesepakatan dan persetujuan, dan tidak memberatkan, maka tak ada hambatan untuk menggelarnya. Bila pun yang menjadi pertimbangan adalah urgensi kegiatan tersebut, yang adalah hanya untuk sarjana lulusan perguruan tinggi, maka bisa dikelola dengan cara yang lebih sederhana.
Begitu pula dengan acara studi tour ke luar daerah. Larangan dari pemerintah itu diperuntukkan bagi sekolah negeri. Karena pemerintah punya tanggung-jawab hukum atas penggunaan dana yang digunakan oleh sekolah negeri yang notabene bersumber dari keuangan negara. Adalah ranah pemerintah untuk melarang sekolah negeri melakukan studi tour ke luar daerah.
Sementara untuk sekolah swasta, lagi-lagi selama itu mendapat persetujuan dan kesepakatan antara pihak sekolah dengan wali murid, studi tour, baik di dalam kota, ke luar daerah, bahkan ke luar negeri, telah menjadi agenda rutin sekolah tersebut, yang bisa jadi menjadi keunggulan dan daya tarik sekolah bersangkutan.
Beberapa sekolah swasta yang sudah mapan bahkan “mainnya” sudah lintas negara. Bukan lagi ke UPI di Bandung, Undip di Semarang, UGM di Yogya, atau Unud di Bali. Ada sekolah yang melakukan studi tour itu ke negara tetangga. Bahkan umroh bersama ke tanah suci. Termasuk sekolah swasta yang menerapkan sistem boarding school atau berasrama.
Atas kegiatan sekolah swasta yang telah berjalan secara rutin dan merupakan kesepakatan bersama antara pihak sekolah dengan orangtua murid, maka pemerintah tidak punya kewenangan mengintervensi urusan rumah tangga sekolah swasta. Bila pun imbauan itu dilakukan, dalam bentuk penyederhanaan kegiatan.
Lain halnya dengan sekolah negeri, yang adalah bagian dari pemerintah. Adalah wajar bila pemerintah menjatuhkan tindakan tegas kepada sekolah negeri yang tidak mengindahkan instruksi. Kepala sekolah negeri diangkat oleh pemerintah, maka pemerintah pun berhak mencopotnya.
Kepala sekolah swasta diangkat oleh yayasan, bukan oleh pemerintah. Maka yang punya kewenangan untuk mencopotnya adalah yayasan, bukan pemerintah. Kepala sekolah negeri diangkat oleh pemerintah, bukan oleh yayasan. Maka yang punya kewenangan untuk mencopotnya adalah pemerintah, bukan yayasan. Clear kan?
***
Tangerang, 16 Mei 2025
Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (FORDISKA LIBAS), Wakil Ketua III Pengurus Besar Mathlaul Anwar, Sekretaris Umum Asosiasi Kepala SMA Swasta (AKSeS) Provinsi Banten, Konsultan Pendidikan Program REDIP-JICA 2004-2012 Provinsi Banten