Menu

Mode Gelap
Mendorong Pertumbuhan Ekonomi, Gubernur Banten Minta Stop Percaloan Tenaga Kerja Wamen ATR/BPN Dorong Penyelesaian Konflik Agraria berbasis HAM Pesta Demokrasi Limited Edition Perempuan dan Pertaruhan Jabatan Suaminya Bangun Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat, Pemprov Banten Siapkan Pelatihan Pengurus Kopdes Merah Putih Kawal Pasukan Panji Bangsa, Fraksi dan Pengurus PKB Pandeglang Sepakat Cetak Kader Berideologi

Opini Publik

Perempuan dan Pertaruhan Jabatan Suaminya

badge-check


					Perempuan dan Pertaruhan Jabatan Suaminya Perbesar

Mestinya, judul tulisan ringan ini tidak demikian. Karena kini perempuan -tersebab perjuangan emansipasi- telah setara dengan laki-laki. Saat ini, hampir tidak ada lagi ruang publik yang sebelumnya menjadi dominasi kaum laki-laki, yang tidak bisa “diterabas” perempuan.

Namun, Penulis terpaksa menggunakan judul tersebut -walau sepintas terasa memarjinalkan kaum perempuan- karena sebagian dari mereka ada yang bersikap standar ganda. Di satu sisi menuntut kesetaraan dengan laki-laki namun di sisi lain merasa aman di zona aman.

Merasa aman di zona aman itu maksudnya dari sebagian perempuan masih ada yang menggunakan alat kelamin sebagai pembeda sekaligus untuk mendapatkan perlakuan khusus atau privilege. Istilah “ladies first” misalnya.

Adanya organisasi-organisasi yang anggotanya khusus perempuan, juga sebagai manifestasi perasaan aman di zona aman tersebut. Di satu sisi memperjuangkan emansipasi agar memiliki peluang dan kesempatan yang sama dengan lelaki, tapi pada saat bersamaan menghimpun diri dalam organisasi yang keanggotaannya khusus perempuan.

Terlepas dari perkara kaum perempuan dengan perjuangan emansipasinya, dalam norma yang telah tumbuh di masyarakat, mereka merupakan pendamping bagi pasangan atau suaminya. Baik pasangan warga biasa maupun para suami yang memiliki posisi jabatan tertentu.

Para perempuan istri-istri staf, pegawai, dan pejabat dalam sebuah instansi biasanya menghimpun diri dalam sebuah organisasi yang dikenal dengan Darma Wanita atau sebutan lain. Mereka menyatu hanya karena suami mereka berada dalam satu lembaga.

Apakah ada manfaatnya? Pastinya banyak. Seperti halnya yang telah mereka lakukan selama ini. Darma Wanita menjadi mitra bagi program-program institusi tempat bekerja para suami mereka. Entah dalam bentuk kegiatan sosial, pengajian, pun sekelas arisan.

Namun sependek pengetahuan Penulis, pada negara-negara maju, bahkan bukan hanya tidak ada, tetapi keberadaan perhimpunan yang keanggotaannya terdiri dari para pasangan suami-suami tersebut malah menjadi sesuatu yang tabu.

Pada negara-negara maju, seluruh staf, pegawai, serta pejabatnya bekerja secara professional dan proporsional. Menghindari konflik kepentingan antara urusan pekerjaan dengan urusan keluarga, dalam bentuk tidak melibatkan dan menyertakan perkara keluarga.

Di negara kita, malah dilembagakan mulai dari tingkat pusat hingga tingkat pemerintahan paling rendah di level kelurahan atau desa. Pun di setiap lembaga atau institusi. Keberadaannya beragam. Bisa berperan sebagai support bagi tugas-tugas para suami, namun ada juga yang kebablasan.

Karena faktor pasangan atau keluarga ini, kita kerap dihadapkan pada peristiwa polemik pejabat negara yang mestinya bekerja secara professional dan tidak mesti direpotkan oleh urusan keluarga. Yang terbaru, polemik tentang istri salah seorang Menteri Kabinet Merah Putih.

Agustina Hastarini, istri dari Maman Abdurrahman, Menteri Usaha Mikro Kecil dan Menengah atau UMKM, bertandang ke beberapa negara di Asia dan Eropa. Bersamaan dengan keberangkatannya, muncul sebuah surat.

Di sosial media beredar sebuah surat bernomor B-466/SM.UMKM/PR.012025 tertanggal 30 Juni 2025. Surat dengan kop Kementerian UMKM RI itu ditujukan kepada KBRI Sofia, KBRI Brussel, KBRI Paris, KBRI Bern, KBRI Roma, KBRI Den Haag, serta Konsul Jenderal RI Istanbul.

Surat tersebut meminta tujuh Kedutaan Besar itu untuk mendampingi istri Menteri UMKM, yang akan melakukan kunjungan ke Istanbul, Pornorie, Sofia, Amsterdam, Brussels, Paris, Lucerne, dan Milan pada 30 Juni hingga 14 Juli. Surat tersebut turut ditembuskan kepada Menteri UMKM, Direktorat Eropa I Kementerian Luar Negeri, dan Direktorat Eropa II Kementerian Luar Negeri.

Atas pemberitaan yang kadung viral tersebut, sang menteri melakukan klarifikasi dengan mendatangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Dalam pernyataannya kepada wartawan, Maman menyampaikan bahwa perjalanan istrinya tidak menggunakan uang negara sepeser pun. Karena itu merupakan perjalanan pribadi dalam rangka mendampingi anaknya.

Terlepas dari klarifikasi yang dilakukan oleh Maman, polemik yang disulut oleh sang istri ini cukup mengganggu profesionalisme dirinya sebagai pejabat tinggi negara yang mestinya tidak direcoki oleh urusan pasangannya.

Dalam konteks lain, sebelumnya juga pernah terjadi kegaduhan di negeri ini ketika Erika Gudono, istri dari Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia atau PSI yang melakukan “kecerobohan” dengan memposting perjalanan dirinya ke luar negeri dengan menggunakan pesawat jet pribadi.

Sang Ketum Kaesang Pangarep merupakan anak kandung dari Jokowi, Presiden RI waktu itu. Gegara ulah dan kelakuan istri yang serampangan tersebut, perkara perjalanan anggota keluarga Presiden ke luar negeri dengan menggunakan jet pribadi tersebut menuai kegaduhan waktu itu.

Ada banyak kejadian lain yang serupa yang mestinya pekerjaan dan urusan kedinasan dilakukan secara professional, namun menjadi gaduh gegara keberadaan dan kelakuan para pasangan ini.

Istri-istri para pejabat yang semestinya menjadi pendamping dan pemberi support bagi para suaminya, kadang ada yang melampaui kapasitasnya. “Pimpinannya sih bapak. Namun semuanya tergantung ibu” merupakan ungkapan satire yang menggambarkan dominannya peran sang istri.

Bahkan pada kasus tertentu, ada seorang pimpinan sebuah lembaga yang bila tampil di hadapan bawahannya atau di hadapan publik seolah seperti singa di atas podium. Namun pada saat di hadapan istrinya alabatan kotok muyung. Sebuah gambaran begitu kuasanya sang ibu atas pimpinan mereka.

Atas beberapa peristiwa yang menunjukkan dominasi pasangan hingga pada persoalan pekerjaan kedinasan, sebaiknya para perempuan yang masuk kategori demikian, berbenah untuk tidak terlalu intervensi dalam urusan pekerjaan pasangannya.

Dengan begitu, para suami bisa bekerja secara professional dan proporsional. Tidak lagi mencampur-adaukan antara urusan kedinasan dengan urusan keluarga. Seperti halnya yang menimpa sang Menteri atau anak kandung Presiden itu.***

Tangerang, 7 Juli 2025

Oleh: Ocit Abdurrosyid Siddiq
Penulis adalah Pengamat Media dan Kebijakan Publik

Baca Lainnya

Pesta Demokrasi Limited Edition

8 Juli 2025 - 14:22 WIB

Bahlilisasi UI

16 Juni 2025 - 23:24 WIB

Universitas Bukan Sekadar Pabrik Ijazah

28 Mei 2025 - 13:09 WIB

RPJMD 2025-2029: Banten Adil atau Sekadar Janji?

28 Mei 2025 - 12:58 WIB

Menggugat Takdir

25 Mei 2025 - 16:40 WIB

Trending di Opini Publik