Menu

Mode Gelap
Mendorong Pertumbuhan Ekonomi, Gubernur Banten Minta Stop Percaloan Tenaga Kerja Wamen ATR/BPN Dorong Penyelesaian Konflik Agraria berbasis HAM Pesta Demokrasi Limited Edition Perempuan dan Pertaruhan Jabatan Suaminya Bangun Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat, Pemprov Banten Siapkan Pelatihan Pengurus Kopdes Merah Putih Kawal Pasukan Panji Bangsa, Fraksi dan Pengurus PKB Pandeglang Sepakat Cetak Kader Berideologi

Opini Publik

Pesta Demokrasi Limited Edition

badge-check


					Pesta Demokrasi Limited Edition Perbesar

Oleh: Ocit Abdurrosyid Siddiq
Pengamat Media dan Kebijakan Publik

Mahkamah Konstitusi telah memutuskan untuk memisahkan waktu pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah. Pemilu Nasional dilaksanakan setelah 5 tahun Pemilu sebelumnya. Sementara Pemilu Daerah digelar 2 tahun sampai 2,5 tahun setelah gelaran Pemilu Nasional.

Pemilu dan Pilkada sebelumnya pada tahun 2024. Artinya, Pemilu Nasional berikutnya akan dilaksanakan pada tahun 2029. Dengan begitu maka Pemilu Daerah akan digelar pada tahun 2031. Ada jarak 7 tahun dari gelaran Pilkada sebelumnya.

Menurut putusan MK, Pemilu Nasional untuk memilih Presiden dan Wakil, Anggota DPR RI, dan anggota DPD RI. Sementara Pemilu Daerah untuk memilih Gubernur dan Wakil, Bupati dan Wakil, Walikota dan Wakil, Anggota DPRD Provinsi, dan Anggota DPRD Kabupaten atau Kota.

Putusan MK tersebut menuai beragam tanggapan. Tanggapan paling penting dan krusial tentu saja dari partai politik, yang notabene mereka merupakan peserta dalam Pemilu. Untuk sementara, partai politik telah menunjukkan sikapnya.

Sebagian besar dari mereka, tidak sependapat bahkan menolak putusan MK tersebut. Alasan paling mendasar bagi mereka adalah karena dalam UUD disebutkan bahwa Pemilu itu dilaksanakan setiap 5 tahun. Itu maknanya putusan MK bertentangan dengan UUD.

Dengan seragamnya tanggapan partai politik terhadap putusan MK ini, maka bisa jadi skema pemisahan pelaksanaan Pemilu itu tidak jadi dilaksanakan. Kemungkinannya adalah merevisi UU Pemilu dan Pilkada.

Sebagai konsekuensi dari ketidaksepakatan partai politik terhadap putusan MK tersebut, revisi bagi kedua UU itu akan berbeda dengan isi putusan MK. Salah satu yang bisa jadi muncul adalah skema pemilihan kepala daerah oleh DPRD.

Narasi tersebut belakangan ini semakin kencang. Apalagi Presiden RI Prabowo Subianto yang adalah Ketua Umum Partai Gerindra pernah menyampaikan wacana ini, yang tentunya sinyal ini akan ditangkap dengan gercep oleh para kadernya.

Wacana tersebut kemungkinan akan menuai dukungan dari partai politik lain. Mereka yang notabene tergabung dalam koalisi besar di pemerintahan, kecil kemungkinan akan menunjukkan sikap politik yang berbeda.

Jadi, bisa jadi, Pilkada berikutnya, tidak ada lagi spanduk, baliho, billboard, kampanye, blusukan, pasar dan bazar tebus murah, bantuan sosial, kampanye di lapangan terbuka, konvoi kendaraan, gelaran dangdut, dan begadang di saung ronda menunggu serangan fajar.

Mengapa? Karena untuk memilih Gubernur, Bupati, atau Walikota, yang biasanya kita berbondong-bondong ke Tempat pemungutan Suara atau TPS, kita wakilkan kepada wakil kita di DPRD yang telah terpilih pada Pemilu sebelumnya.

Kalau begitu, Pilkada bukan pesta demokrasi dong? Masih pesta sih. Cuma kalau yang lalu pesta rakyat, nanti mah pestanya milik wakil rakyat. Pesta limited edition. Pesta maranehna bae.***

Tangerang, 8 Juli 2025
Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (FORDISKA LIBAS)

Baca Lainnya

Perempuan dan Pertaruhan Jabatan Suaminya

7 Juli 2025 - 21:22 WIB

Bahlilisasi UI

16 Juni 2025 - 23:24 WIB

Universitas Bukan Sekadar Pabrik Ijazah

28 Mei 2025 - 13:09 WIB

RPJMD 2025-2029: Banten Adil atau Sekadar Janji?

28 Mei 2025 - 12:58 WIB

Menggugat Takdir

25 Mei 2025 - 16:40 WIB

Trending di Opini Publik