Di Kampung Tampakaso, Desa Angsana, Kecamatan Mancak, Kabupaten Serang, Banten jalan bukan sekedar jalur penghubung. Jalan adalah penanda apakah negara benar-benar hadir. Sayangnya, sudah lebih dari dua dekade, jalan sepanjang lima kilometer itu tak lebih dari hamparan batu licin yang basah dan penuh lubang, seolah menanti korban berikutnya.
Jalan tersebut satu-satunya akses warga menuju Kota Cilegon—pusat aktivitas ekonomi dan layanan publik terdekat. Tapi yang mereka hadapi setiap hari bukan kenyamanan, melainkan kecemasan. Terutama saat hujan turun, ketika bebatuan di jalan menjadi licin dan membahayakan.
“Kalau hujan, motor sering jatuh. Malam hari juga gelap, tidak ada lampu. Kami benar-benar was-was setiap hari,” ujar Mad Rais, salah seorang warga setempat, Jumat 20 Juni 2025.
Keluhan soal rusaknya jalan bukan cerita baru di desa ini. Sudah berulang kali disuarakan ke pemerintah desa, namun tak satu pun yang ditindaklanjuti.
“Kami seperti berbicara ke tembok. Sudah capek menyampaikan, tidak juga direspons,” kata Rais.
Ironisnya, setiap tahun desa ini menerima kucuran dana miliaran rupiah dari pemerintah pusat melalui Dana Desa. Namun jalan yang menjadi nadi kehidupan warga justru terabaikan. Seolah pembangunan hanya milik papan proyek dan rapat-rapat seremonial.
“Sudah 25 tahun jalan ini dibiarkan rusak. Bahkan belum pernah diperbaiki sama sekali. Masyarakat lama-lama jadi apatis,” ucap Rais.
Lebih dari sekadar akses fisik, jalan rusak ini adalah simbol dari buruknya tata kelola dan kegagalan pemerintah dalam menjalankan mandat pembangunan merata. Di tengah geliat proyek infrastruktur nasional, Kampung Tampakaso seperti wilayah yang sengaja dilupakan.
Warga berharap, ada perhatian nyata dari pemerintah kabupaten maupun provinsi. Bukan sekadar janji, tapi langkah konkret yang bisa mereka rasakan di atas aspal, bukan batu licin.
“Kami tidak menuntut jalan tol, kami hanya ingin akses yang layak agar bisa hidup nyaman dan aman di kampung sendiri,” pungkas Rais.***
Penulis: Red