PANDEGLANG | Komunitas seni disabilitas Special Needs Artivity (SNA) menggelar puncak acara Tina Sagara Ka Sagala dari laut untuk segala di Teluk Labuan, Kabupaten Pandeglang, acara digelar sejak tanggal 8 hingga tanggal 10 september 2025.
Melalui diskusi seni, pameran karya boneka dari sampah, hingga pementasan teater boneka, acara ini mengajak masyarakat lebih peduli pada isu sampah laut.
Kegiatan ini didukung oleh Platform Dana Indonesiana hasil kerja sama Kementerian Kebudayaan dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Selain itu penyelenggaraan juga mendapat dukungan Balai Pelabuhan Perikanan Pantai (BPPP) Labuan.
Sebagai komunitas seni yang membuka ruang inklusi bagi difabel, tahun ini SNA mencoba menyoroti kelompok marjinal yang terdampak langsung oleh sampah di pesisir Labuan, ketua SNA, Khairul Hakim, mengungkapkan bahwa masyarakat Desa Teluk kerap menerima sampah kiriman dari kota.
“Sebagian besar sampah itu bukan berasal dari warga sekitar, melainkan terbawa arus dari perkotaan, Ini menjadi refleksi bahwa tata kelola sampah di hulu berdampak langsung pada masyarakat pesisir,” jelasnya.
Koordinator program, Fahmi Abdul Aziz dan Ifan Hariyadi menambahkan bahwa ide awal lahir dari viralnya Teluk Labuan yang dinobatkan sebagai pantai terkotor oleh Pandawara Group pada 2024.
“Kami ingin merespons isu itu lewat seni. Bagaimana menjadikan keresahan lingkungan sebagai ekspresi yang bisa menyentuh publik,” ujar Fahmi dan Ifan.
Sejak Desember lalu, SNA berkolaborasi dengan Pandeglang Creative Hub, GudRND Jakarta, Komunitas Botol, dan Precious Plastic Bandung melalui riset, diskusi, dan lokakarya. Bersama seniman lintas disiplin, mereka menghasilkan karya berupa alat musik dan boneka dari sampah.
Seluruh hasil karya akan ditampilkan dalam bentuk pertunjukan teater boneka yang dapat disaksikan di Lapangan Wisata Kuliner Batako, Desa Teluk, Labuan, pada Rabu malam tanggal 09 September 2025 pukul 19.00. Tina Sagara Ka Sagala membawa kisah yang diangkat dari ingatan masyarakat tentang Teluk Labuan sebagai tempat berlabuhnya penyu untuk bertelur.
“ Kondisi tersebut sekarang sudah jauh berubah. Para penyu yang dulu bertelur dan kembali ke pantai kini tergantikan oleh sampah yang menumpuk,” tambah Fahmi.
Ia juga menyoroti persoalan sampah ini tidak sesederhana siapa yang membuang, tetapi menyangkut tata kelola, kebijakan, dan kepedulian bersama. Melalui panggung seni, Special Needs Artivity ingin menyuarakan bahwa pemulihan Teluk Labuan memerlukan kerja sama berbagai pihak agar laut kembali menjadi rumah bagi penyu dan biota lainnya.
Pertunjukan ini terbuka untuk umum dan gratis, masyarakat Labuan dan sekitarnya dapat menonton pertunjukan menyaksikan perpaduan seni, musik, dan boneka dalam teater.
Imam Satori