Dunia medis Indonesia sedang diterpa badai kepercayaan. Dua kasus kekerasan seksual yang melibatkan oknum dokter telah mencabik-cabik citra profesi yang selama ini dipandang sebagai simbol kemanusiaan, pengabdian, dan pelindung nyawa. Namun kini, masyarakat dihadapkan pada kenyataan pahit: ada sebagian dari mereka yang seharusnya menyembuhkan, justru menyakiti.
Kasus pertama datang dari Bandung. Priguna Anugerah Pratama, seorang dokter muda yang sedang menjalani pendidikan dokter spesialis (PPDS) di Universitas Padjadjaran, diduga melakukan pemerkosaan terhadap seorang perempuan—yang merupakan anak dari pasien yang sedang dirawat di RS Hasan Sadikin.
Tak lama berselang, publik kembali dibuat geram. Kali ini, seorang dokter kandungan berinisial MSF diduga melakukan pelecehan seksual terhadap pasiennya sendiri saat proses pemeriksaan medis. Lagi-lagi, ruang perawatan yang seharusnya dipenuhi kepercayaan dan profesionalisme, justru ternoda oleh kekuasaan yang disalahgunakan.
Kepercayaan Publik di Titik Kritis
Masyarakat dari berbagai latar belakang bereaksi keras. Di media sosial, seruan “Dokter Bejat, Harus Dihukum Berat!” menggema dan menjadi topik hangat. Banyak yang merasa kecewa, marah, dan bahkan takut, terutama para perempuan yang merasa rentan ketika harus memeriksakan diri kepada tenaga medis.
Dalam program Interupsi yang tayang di televisi, dipandu oleh Ariyo Ardi dan Anisha Dasuki, sejumlah tokoh turut angkat bicara. Mereka menyoroti pentingnya penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu, serta perlunya reformasi dalam sistem pengawasan profesi dokter.
Narasumber Kak Erlinda Pemerhati Perempuan dan Anak, turut memberikan seruan terhadap Tindakan Dokter Bejat. Pada wawancara live disalah satu program tv nasional, hal tersebut menjadi alarm keras bahwa kekuasaan, meskipun berada di balik jas putih, bisa disalahgunakan. Dengan dukungan dari Narasumber terkait Tindakan Dokter Bejat tersebut harus dihentikan sekarang. Jangan sampai korban terus bertambah.
Institusi Profesi Diminta Tegas
Ketegangan juga merembet ke institusi profesi. Masyarakat menuntut agar organisasi seperti IDI (Ikatan Dokter Indonesia) tidak hanya bersikap netral, tapi tegas dan berpihak pada korban.
Dukungan hadir dr. Makky Zamzami, Humas PB IDI, dr. Eva Sri Diana Chaniago, Ketua Gerakan Dokter Indonesia Bersatu, mendukung proses hukum terhadap langkah tegas jika terbukti ada pelanggaran etika dan hukum.
Sorotan dari Wakil Rakyat
Dari parlemen, Maman Imanul Haq, Anggota Komisi VIII DPR RI, turut menyerukan perhatian terhadap Tindakan Dokter Bejat yang telah dilakukan. Pada wawancara yang berlangsung
Lebih dari Sekadar Hukuman
Masyarakat kini menuntut lebih dari sekadar vonis di pengadilan. Mereka menginginkan perubahan sistem, edukasi yang lebih menyeluruh bagi tenaga medis tentang etika dan kesetaraan gender, serta keberpihakan kepada korban. Kasus ini telah membuka mata banyak pihak bahwa tidak semua pelanggaran terjadi di ruang gelap—beberapa justru terjadi di tempat yang terang, namun ditutupi oleh simbol kehormatan dan kekuasaan.
Kini, pilihan ada di tangan para penegak hukum, institusi pendidikan, organisasi profesi, dan kita semua sebagai bagian dari masyarakat: apakah kita akan diam dan membiarkan luka ini menganga lebih dalam, atau kita bangkit dan memastikan bahwa tidak ada lagi kekuasaan yang digunakan untuk menyakiti mereka yang seharusnya dilindungi?.***
-Kang Ucu SN
Penulis adalah Wakil Pimpinan Redaksi media sorotdesaindonesia.id